Andalan

Hidup dalam Penolakan : Mengenang Pramoedya Ananta Toer

Oleh Jafar Fakhrurozi

Tiada yang menyangka, bahwa seorang anak yang menamatkan bangku SD selama sepuluh tahun kemudian menjadi penulis besar. Tak ada juga yang menyangka bahwa seorang penulis besar di Indonesia mengalami nasib yang amat tidak beruntung. Itulah Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang kelahiran Blora, 6 Februari 1925. Pengarang paling produktif di Indonesia ini semasa hidupnya menulis lebih dari 200 novel. Jumlah yang amat fantastis mengingat hidupnya banyak dihabiskan di penjara. Pramoedya Ananta Toer, adalah seorang pribadi istimewa yang hidupnya penuh penolakan. Potret hidupnya yang getir mencerminkan betapa besarnya penolakan yang ia terima. Namun, kondisi tersebut juga menunjukkan bahwa Pramoedya begitu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam dinamika kehidupan berbangsa.

Kegetiran hidup sudah Pram rasakan sejak kecil. Pram kecil tiga kali tak naik kelas di sekolah dasar. Ia menghabiskan sepuluh tahun untuk menyelesaikan sekolah dasar. Hal itu membuat ayahnya yang cerdas merasa malu. Ayahnya menganggap Pram sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus sekolah dasar, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP) dan menyuruhnya kembali masuk SD.

Beruntung ia sangat dekat dengan ibunya. Atas biaya ibunya, Pram dapat melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.

Ketidakcermerlangan Pram ketika bersekolah di SD, membuat ia minder dan memilih bergaul dengan anak-anak miskin di kampungnya. Rasa minder yang menyelimutinya ia tumpahkan lewat tulisan. Sampai dewasa prinsip “Saya tidak bisa bicara makanya saya menulis” masih ia pegang. Wajar jika kemudian ia jadi penulis besar.

Kisah yang tak begitu manis juga terlihat dari kisah asmaranya. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian. Bahkan Pram diusir oleh mertuanya. Penyebabnya adalah keadaan ekonomi Pram yang miskin.  Hasil yang ia peroleh dari menulis belum menentu sehingga tak dapat menafkahi keluarganya. Namun demikian, tak semua perempuan menolak kemiskinan. Maemunah, seorang perempuan penjaga stan pameran, mau menjadi pendamping setia sampai akhir hayatnya.

Penolakan-penolakan terhadap Pram kian klimaks saat Pramoedya menjadi penulis. Karya-karyanya ditolak oleh negara. Ia pun diasingkan dan dipenjara. Meskipun ia ikut berjuang meraih kemerdekaan bersama Sukarno, namun ada catatan yang mengisahkan bahwa Bung Karno sendiri tidak begitu menyukai Pram. Bermula ketika Pram menghadap Bung Karno untuk membicarakan mengenai hidup para seniman. Pram mengatakan bahwa akan baik jika diadakan konferensi pengarang Asia Afrika. Usul itu disambut oleh Presiden dan ia pun lantas menunjuk Pram sebagai ketua panitianya. Pram menolak dan mengatakan kalau saat ini ia masih terlalu sibuk. Penolakan ini membuat Bung Karno marah. Sejak itu Bung Karno pun tak pernah menyukainya. Bung Karno menganggap Pram sebagai sosok yang angkuh.

Pada masa orde baru, Pramoedya menjadi sosok yang amat berbahaya. Ia diasingkan dan dipenjara. Ia dituduh komunis. Selama Orde baru berkuasa, 14 tahun ia habiskan hidupnya di Penjara.

Rupanya penolakan tersebut tak jua usai ketika Pramoedya sudah menghirup udara bebas. Ketika dirinya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina pada tahun 1995. Anugerah itu ditolak oleh sastrawan-sastrawan senior Indonesia. Pramoedya disebut sebagai tokoh yang menghancurkan dunia kebebasan budaya di Indonesia.

Pramoedya di Bawah “Belenggu” Pemikirannya

Pramoedya Ananta Toer sangat akrab dengan penjara. Ia selalu sempat mencicipi penjara dipenjara dalam tiga periode pemerintahan Indonesia, yakni zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru. Pram ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang.

Apa yang menyebabkan ia dipenjara? Sebuah pertanyaan yang Pramoedya sendiri tidak mampu menjawabnya. Ia mengaku tidak memiliki ideologi yang dituduhkan terhadap dirinya seperti ideologi komunis. Ia hanya bertindak atas dasar kemanusiaan, ia menolak ketidakadilan, penindasan, dan segala bentuk yang membelenggu kebebasan manusia.

Karya-karya yang dilahirkan memang sarat nuansa perlawanan. Nuansa kritis lebih tepatnya. Pada masa pemerintahan Belanda, ia terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Bukunya “Hoa Kiau di Indonesia” tidak disukai pemerintah Orde Lama. Buku tersebut adalah pembelaan terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia.  Buku-buku lainnya sarat dengan kritik sosial. Eka Kurniawan menulis buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (2002). Realisme sosialis yang berasal dari Rusia disebut sebagai aliran yang mempengaruhi tulisan Pram. Karya yang paling fenomenal yang ia tulis adalah empat novel yang terhimpun dalam “Tetralogi Buru”  yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.

Menurut A. Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer (1997),  seri novel Pram mengisahkan tentang Minke, yang pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi Buru itu di luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, “Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia.”

Pada masa Orde Baru, karya-karyanya dilarang terbit. Ia dicap sebagai komunis. Pemikiran-pemikirannya yang progressif membuatnya dimusuhi oleh negara. Bagi Pramoedya, Indonesia harus menjadi negara yang berdaulat terhadap rakyat bukan pada kepentingan kapitalisme asing. Di wilayah kebudayaan, pandangannya tercermin dalam konsep yang termanifestasikan dalam organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Organisasi Kebudayaan ini kemudian diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia, sehingga ketika terjadi tragedi 30 September 1965, Lekra dan para seniman yang tergabung di dalamnya ikut diberangus oleh pemerintah Orde Baru. Pramoedya dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 yang dijalani tanpa melewati proses peradilan.  Namun lagi-lagi, di penjara Pramoedya malah produktif menulis.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Dalam film Biografi tentang Pramoedya AnantaToer yang diproduksi Yayasan Lontar, Pramoedya sadar bahwa karya-karyanya akan mengadilinya. Pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan seakan menjadi “belenggu” yang mengungkung hidupnya. Belenggu itu terjadi karena pemikirannya tak sejalan dengan kekuasaan. Pramoedya adalah sastrawan besar yang menjadi korban kekuasaan. Sastra dan politik memang sangat erat. Tumbuhnya negara Indonesia tak lepas dari perjuangan di ranah kebudayaan (Julianti Parani dalam Seni Pertnjukan Indonesia suatu Politik Budaya). Hancurnya kebudayaan juga ditentukan politik. Pramoedya adalah contohnya. Dengan sastra ia ingin bangun identitas Indonesia. Namun dengan politik, ia harus siap diberangus. Namun, meskipun ia terus dirundung ketidakadilan, nama Pramoedya Ananta Toer selalu dikenang oleh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Usianya yang panjang yakni 81 tahun, (wafat 30 April 2006) seolah menjadi saksi bagaimana perjuangan seorang Pram.(*)

Jafar Fakhrurozi

SAYA di akta lahir tanggal 26 September 1983. Di desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka. Di bagian timur, berbatasan langsung dengan Desa Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Karena tinggal di perbatasan, saya bisa menggunakan dua bahasa daerah. Basa Sunda dan Cerbon. Sebenarnya, saya lebih suka dikelompokkan ke dalam suku sunda, tapi apa daya, orangtuaku menamaiku dengan nama Arab: Jafar Fakhrurozi, bukan Tatang Suratang, atau Jaja Sujaja. Intinya saya bingung dengan identitas saya. Saya sepertinya bukan keturunan ningrat, sebab dalam silsilah keluarga, tak ada satupun anggota keluarga yang memiliki gelar kerajaan. Meski begitu, saya tidak takut untuk hidup. Apalagi untuk mati.

Singkat cerita, saat kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya diajari dan belajar sastra. Hasilnya mencengangkan; sastra ternyata juga ilmu pasti, sebagaimana sains. Siapa belajar keras, jadilah ia. Dari sini saya sedikit berfikir, kemudian menyimpulkan: saya tak percaya pada bakat, melainkan saya lebih yakin pada kesungguhan dalam belajar. Contohnya adalah saya.

Meski pas-pasan, dalam tempo cepat, saya merasa sudah mampu menulis karya sastra, terutama puisi dengan baik. Apabila tidak percaya, ujilah puisi-puisi saya dengan metode apapun. Hasilnya pasti memuakkan.

Lalu saya kuliah lagi, S2 di Universitas Indonesia. Ambil Ilmu Susastra dengan peminatan Tradisi Lisan. Mulailah saya tertarik dengan masa lalu, betapa bangsa ini kaya akan tradisi. Namun di lapangan saya amati beberapa tradisi tidak berkembang lagi alias hampir menemui ajal. Ini yang memanggil saya untuk mencoba fokus di bidang ini, dengan harapan ikut menyelamatkan tradisi dari kepunahan. Meskipun sulit, minimalnya ada upaya-upaya penyelamatan.

Selain terhadap sastra dan pendidikan, saya interest terhadap ilmu-ilmu sosial, politik, dan kebudayaan. Atasnya, saya mencoba untuk berpikir dan terlibat. Guna menjaga otak dan perut agar tetap kondusif, saya bekerja dan mengabdi di Universitas Teknokrat Indonesia. Salah satu perguruan tinggi di Bandarlampung. Ya sekarang saya berdomisili di Kota Tapis Berseri. Menjadi diaspora lokal. (Bersambung).

Pagi di Teluk Lampung

undefined

sebelum pagi usai, arak-arakan angin mulai gusar

berputar-putar lalu lesap ke peluk teluk

aku melihat nasibku, seperti hilir mudik perahu

dari keramaian ke keramaian yang lain

jangan pernah menuju sepi, katamu suatu waktu

sebab dalam kesepian, mata maut berpagut

bersyukur, karena pagi selalu kembali

membawa embun dan menyimpannya di sepanjang jig1

ikan-ikan terkapar di tepi tongkat kemudi

sebentar pasar akan digelar, barulah mata nelayan memancar

“tak ada nikmat melebihi nikmat karunia-Nya,

Ini perut laut tak henti-henti aku pagut” katamu

maka tak ada yang bisa menghalangimu

untuk tidak mengarung laut

………………………………..(belum selesai)

Catatan:

1 Bagian kapal, layar depan berbentuk segi tiga.

JAFAR FAKHRUROZI

Hanya puisi, orasi, dan testimoni

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai